Hakim Tolak Praperadilan untuk Kompol Ramli, Terduga Pengancam Kepala Sekolah Rp4,7 Miliar



Beranjak.id


,


Medan


– Gugatan
praperadilan
Permohonan yang disampaikan Komisar Ramli Sembiring ke Kapolri serta Kapolda Sumatera Utara (Kapolda Sumut) di tolak oleh Pengadilan Negeri (PN) Medan. Mantan Kabid Pembinaan Operasi Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sumatera Utara ini telah mendaftarkan permintaan praperadilannya terhadap proses penangkapannya, penerimah tahananannya, dan dinyatakannya statusnya menjadi tersangka dalam kasus pengancaman terhadap 12 kepala sekolah.

Hakim tunggal Phillip Mark Soentpiet menyatakan bahwa PN Medan tidak memiliki hak atau kewenangan untuk meninjau permohonan Kompol Ramli. Hakim menjelaskan bahwa pengadilan yang tepat dan berwajib dalam hal ini adalah PN Jakarta Selatan dikarenakan sifat dari kasus tersebut.
pemerasan
itu ditangani Bareskrim Polri.

“Permohonan praperadilan dari penggugat ditolak karena tidak memenuhi syarat dan Pengadilan Negeri Medan tidak memiliki kewenangan untuk menangani kasus ini,” ungkap Philip pada hari Rabu, tanggal 16 April 2025.

Berdasarkan keputusan tersebut, Ramli secara resmi ditetapkan sebagai tersangka. Dengan demikian, penyidik berhak untuk mengambil langkah-langkah lebih lanjut dalam investigasi dan kemudian menyerahkan kasusnya kepada pihak kejaksaan.

Seorang pria yang berusia 58 tahun dan berasal dari Kelurahan Medanjohar, kota Medan dinyatakan sebagai tersangka melalui Perintah Penyidikan No: Sprin.Sidik/10.a/IIB/2025/Tipidkor serta Surat Keputusan Tersangka No S.Tap/4/IIC/2025/Tipidkor pada tanggal 4 Februari 2025. Pria tersebut tidak menerima penetapan ini. Lewat pengacaranya di Kantor Law Office & Advokat Irwansyah Putra Nasution, ia memasukkan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Medan pada tgl 13 Maret 2025 dengan nomer perkara yakni: 17/Pid.Pra/2025/PNMdn.

Kasus tersebut dimulai ketika Korps Penanggulangan Kejahatan Korupsi (KP2T)
Kortastipidkor
) Polri menetapkan Ramli dan Brigadir Bayu sebagai tersangka pemerasan Dana Alokasi Khusus (DAK) di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) di Sumut. Bayu adalah penyidik pembantu pada Subdit Tipidkor Ditreskrimsus Polda Sumut.

Kepala Kortastipidkor Irjen Cahyono Wibowo mengatakan, kedua tersangka diduga memaksa para kepala sekolah untuk memberikan bagian dari dana proyek DAK fisik. Kepala sekolah yang menolak dikirimi surat Aduan Masyarakat (Dumas) fiktif yang isinya dugaan korupsi dana Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP).

Pada saat para kepala sekolah datang memenuhi undangan kedua tersangka, ternyata mereka tidak diperiksa soal dana BOSP. Mereka diminta mengalihkan pekerjaan proyek atau memberi fee kepada Ramli sebesar 20 persen dari anggaran. Total fee yang diserahkan 12 kepala sekolah SMKN sebesar Rp 4,7 miliar. Salah satu barang bukti yang disita penyidik adalah uang tunai sebanyak Rp 400 juta di mobil Komisaris Ramli.

“kedua terduga telah dipecat dan dipenjara di Rutan Bareskrim Polri,” ujar Cahyono.

Kuasa hukum Ramli, Irwansyah Nasution, menyebut bahwa uang yang ditemukan dalam kendaraannya merupakan bagian dari hasil tanaman milik klien tersebut. Ia menjelaskan bahwa sampai saat ini, barang bukti uang yang dilaporkan para korban belum ditemukan. Karena itu, tuduhan terhadap Ramli atas penggelapan dan paksaan dengan ancaman tidak dapat dibuktikan.

“Masalah ini masih belum cukup matang untuk dilemparkan kepada pihak penyelidik. Klien kita sama sekali tak menjalani pemeriksaan yang seharusnya. Bahkan jika ada pemeriksaan, itu hanya berlangsung cepat dengan tiga atau empat pertanyaan saja saat beliau sedang sakit, terbebani pikiran, serta mengalamai tekanan dan kesedihan. Situasi seperti itu tentunya bukanlah landasan hukum yang sah bagi penetapan seseorang sebagai tersangka,” jelas Irwansyah.

Penyidik menetapkan status tersangka kepada Ramli berdasarkan BAP dari Divisi Propam Mabes Polri. Irwansyah mengatakan, perkara di wilayah Propam tidak serta merta menjadi hasil pemeriksaan Kortastipidkor. Menurutnya, ini penyalahgunaan wewenang dan prosedur hukum. Penyidik harus periksa ulang dan memperlihatkan barang bukti.

“Klien kami juga tidak pernah di-OTT KPK atau Kortastipidkor, tapi dituduh melakukan pemerasan sebesar Rp 4,7 miliar. Mana buktinya? Makanya kami praperadilan-kan, biar diuji legalitas dan kualitas alat bukti yang digunakan penyidik,” katanya.

Bagikan Artikel Ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

| Artikel Terkait