Hallo Sobat Beranjak – RUU Perampasan Aset merupakan rancangan undang-undang yang diusulkan untuk mengatur penyitaan dan perampasan aset yang diduga hasil tindak pidana, terutama korupsi, dengan tujuan memberantas korupsi dan menambah kas negara. Tujuan utama RUU Perampasan Aset adalah untuk memberikan kerangka hukum yang jelas dan tegas dalam penyitaan serta pengembalian aset yang diduga merupakan hasil tindak pidana, khususnya korupsi, sehingga kerugian negara dapat dipulihkan secara efektif (recovery asset). RUU ini dirancang agar proses perampasan aset menjadi lebih efektif dan efisien dibandingkan regulasi yang ada saat ini, dengan memberikan wewenang lebih besar kepada lembaga penegak hukum untuk mengakses informasi keuangan dan melakukan penyitaan aset baik di dalam maupun luar negeri.
Selain itu, RUU ini bertujuan menutup celah hukum yang selama ini dimanfaatkan pelaku kejahatan untuk menyembunyikan dan menikmati hasil kejahatan mereka, sehingga diharapkan dapat mempercepat pemulihan aset negara dan memberikan efek jera yang kuat bagi para pelaku tindak pidana. RUU Perampasan Aset juga mengadopsi konsep non-conviction based yang memungkinkan perampasan aset tanpa harus menunggu putusan pidana terhadap pemilik aset, sehingga negara dapat merampas aset yang diduga hasil kejahatan tanpa harus memidanakan pelakunya terlebih dahulu.
Paradigma hakim dan aparat penegak hukum masih konvensional, sehingga sulit menerima konsep non-conviction based (NCB) yang memisahkan perampasan aset dari proses pidana terhadap pelaku. Dalam RUU ini, perkara berfokus pada aset (in rem), bukan pada orang (in personam), yang menyebabkan kebingungan hakim dalam menentukan jenis perkara dan alat bukti yang digunakan. Terdapat tumpang tindih dan kerancuan dalam jenis alat bukti yang diatur, seperti perbedaan antara surat, dokumen, dan affidavit, yang dapat menyulitkan penerapan di pengadilan.
Pembahasan RUU Perampasan Aset menghadapi sejumlah tantangan signifikan yang berasal dari aspek hukum, politik, dan implementasi. DPR dan Presiden dianggap kurang serius dan kurang memberikan perhatian kuat dalam mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU ini, sehingga proses legislasi berjalan lambat dan berlarut-larut. Keengganan legislatif ini menghambat pemenuhan komitmen Indonesia terhadap konvensi internasional seperti UNCAC yang mewajibkan pemulihan aset hasil tindak pidana korupsi. Pendekatan perampasan aset yang mengedepankan pembuktian asal-usul aset sebagai hasil kejahatan tanpa membuktikan kesalahan pemilik aset menimbulkan kekhawatiran terkait hak atas harta kekayaan dan prinsip peradilan yang adil. Perlu penegasan bahwa mekanisme ini tidak membuktikan kesalahan seseorang, melainkan hanya membuktikan bahwa aset tersebut berasal dari tindak pidana, agar tidak melanggar hak asasi. Proses pelacakan aset, terutama yang disembunyikan di luar negeri, memerlukan kerjasama internasional dan infrastruktur hukum yang memadai, yang saat ini masih menjadi kendala. Kesiapan lembaga penegak hukum dalam hal kapasitas, pelatihan, dan teknologi juga menjadi tantangan agar RUU ini efektif diimplementasikan. Konsep perampasan aset tanpa pemidanaan lebih umum di negara dengan sistem hukum common law, sehingga adaptasi dan regulasi pendukung di Indonesia yang menganut sistem hukum campuran masih perlu disesuaikan.