Hallo Sobat Beranjak – Media sosial memiliki peran ganda dalam konteks konflik SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) di Indonesia. Di satu sisi, media sosial dapat menjadi alat efektif untuk merawat persatuan dan kebhinekaan bangsa. Namun, di sisi lain, media sosial juga berpotensi besar memicu dan memperparah konflik SARA. Seperti yang diuraikan dibawah ini :
- Penyebaran Hoaks dan Ujaran Kebencian: Media sosial memungkinkan penyebaran informasi yang tidak benar (hoaks) dan ujaran kebencian yang menyinggung identitas suku, agama, ras, dan antar golongan secara cepat dan luas. Contoh nyata adalah kasus-kasus ujaran kebencian yang viral di platform seperti YouTube, Instagram dan TikTok yang memicu permusuhan antar kelompok masyarakat.
- Polarisasi dan Sentimen Negatif: Media sosial sering menjadi ruang di mana sentimen negatif dan ketegangan SARA diperkuat melalui komentar, postingan, dan konten yang memecah belah. Pengguna media sosial yang tidak bijak dapat menyebarkan konten diskriminatif yang memperdalam perpecahan social.
- Minimnya Verifikasi Fakta: Informasi yang beredar di media sosial sering kali tidak melalui proses verifikasi yang ketat, sehingga masyarakat mudah terpengaruh oleh berita palsu yang memicu konflik sosial berbasis identitas.
- Penggunaan untuk Kepentingan Politik: Media sosial juga dimanfaatkan oleh kelompok atau partai politik tertentu untuk menggalang dukungan dengan cara mengangkat isu SARA yang sensitif, yang berpotensi memperkeruh situasi sosial dan memecah belah masyarakat.
- Kekerasan Psikis dan Sosial: Konflik yang dipicu media sosial tidak hanya berupa kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan psikis yang berdampak pada hubungan antar kelompok masyarakat, memperburuk kerukunan dan toleransi.
Contohnya yang terjadi pada kasus Kasus Willie Salim terkait “kehilangan” rendang 200 kilogram yang dimasak di Palembang menjadi kontroversi besar dan memicu isu SARA secara tidak langsung. Willie Salim, seorang konten kreator, mengunggah video yang menunjukkan rendang yang sedang dimasak raib dalam waktu singkat saat ia meninggalkan lokasi sebentar. Dalam video tersebut, terlihat warga mengambil rendang yang belum matang, dan seorang polisi yang berjaga mengatakan warga sulit dicegah mengambil rendang tersebut.
Konten ini memicu kemarahan warga Palembang karena dianggap merendahkan dan merusak citra masyarakat serta kota Palembang yang selama ini dikenal bersih, aman, dan rapi. Beberapa warga dan tokoh lokal bahkan melaporkan Willie ke polisi atas dugaan penghinaan dan pencemaran nama baik warga Palembang. Konten ini juga memicu hujatan di media sosial yang menyerang warga Palembang dengan narasi negatif seperti “Palembang rakus” dan “Palembang tamak”.
Sultan Palembang Darussalam Mahmud Badaruddin IV juga menanggapi kasus ini dengan meminta Willie Salim meminta maaf secara terbuka dan menjalani ritual adat sebagai bentuk penebusan kesalahan karena konten tersebut dianggap menodai budaya “semon” (rasa malu) masyarakat Palembang.
Meski demikian, pemerhati hukum menilai kasus ini tidak memenuhi unsur pidana karena tidak ada ajakan permusuhan atau berita bohong yang menimbulkan kerusuhan fisik. Willie Salim sendiri telah meminta maaf secara terbuka atas kejadian ini dan mengakui kurangnya persiapan dalam membuat konten tersebut.
Pemerintah Palembang merespons kontroversi konten Willie Salim yang menampilkan hilangnya 200 kg rendang dengan beberapa langkah tegas dan diplomatis, terdiri dari :
- Wali Kota Palembang, Ratu Dewa, menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada warga Palembang melalui akun Instagram pribadinya untuk meredam polemik yang muncul akibat video tersebut. Permintaan maaf ini menimbulkan reaksi beragam di masyarakat, namun menjadi upaya pemerintah untuk menjaga ketenangan dan reputasi kota.
- Kesultanan Palembang Darussalam, sebagai representasi budaya dan adat istiadat Palembang, menanggapi dengan tegas. Sultan Mahmud Badaruddin IV menyatakan bahwa konten Willie Salim telah menodai budaya “semon” (rasa malu) masyarakat Palembang dan merusak citra kota. Sultan mendesak Willie untuk meminta maaf secara terbuka di hadapan Majelis Adat dan menjalani ritual adat tepung tawar sebagai bentuk penebusan. Jika tidak memenuhi tuntutan ini, Willie terancam dikutuk dan diharamkan menginjakkan kaki di Palembang seumur hidup.
- Pemerintah daerah juga mendukung proses hukum yang sedang berjalan, dengan beberapa laporan masyarakat yang telah diajukan ke Polda Sumatera Selatan terkait konten tersebut. Sultan dan pemerintah menegaskan agar aparat penegak hukum menindak tegas sesuai aturan jika terbukti ada pelanggaran.
- Selain itu, untuk memulihkan citra masyarakat Palembang, terdapat inisiatif kegiatan bersama yang melibatkan pemerintah daerah dan tokoh masyarakat, seperti acara memasak besar-besaran yang digelar sebagai respons terhadap kontroversi ini, bertujuan memperbaiki citra warga Palembang di mata public.