TERUNGKAP ALASAN UNDANG-UNDANG TNI DI REVISI DAN DI GUGAT

Hallo Sobat Beranjak – Revisi Undang-Undang TNI dilakukan oleh Pemerintah dan DPR dengan tujuan utama menyesuaikan peran dan fungsi TNI dalam menghadapi tantangan keamanan modern, seperti ancaman siber dan dinamika geopolitik internasional. Revisi ini menambah tugas TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), termasuk Penanggulangan Ancaman Siber dan Perlindungan Kepentingan Nasional di Luar Negeri, serta Memperluas Jumlah Lembaga Sipil yang dapat diisi Prajurit TNI Aktif dari 10 menjadi 16 Institusi. Hal ini dianggap penting untuk meningkatkan kapabilitas TNI secara efektif dan efisien dalam menjaga keamanan nasional.

Namun, revisi Undang-Undang TNI ini menuai penolakan dan gugatan dari berbagai kalangan masyarakat sipil, akademisi, dan mahasiswa karena beberapa alasan utama:

  1. Kekhawatiran Kembalinya Dwifungsi ABRI: Revisi ini dinilai membuka peluang bagi militer untuk kembali berperan dalam urusan sipil dan pemerintahan, seperti pada era Orde Baru, yang dapat mengaburkan fungsi utama TNI sebagai alat pertahanan negara;
  2. Ancaman terhadap Demokrasi dan Supremasi Sipil: Penambahan prajurit TNI aktif dalam jabatan sipil dikhawatirkan akan melemahkan prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi supremasi sipil dan berpotensi mengganggu keseimbangan kekuasaan antara sipil dan militer;
  3. Proses Legislasi yang Tidak Transparan: Proses pembahasan revisi Undang-Undang TNI dianggap terburu-buru dan minim partisipasi publik, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan dan penolakan dari masyarakat sipil;
  4. Potensi Penyalahgunaan Wewenang: Tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, perluasan peran TNI di sektor sipil berisiko menimbulkan penyalahgunaan kewenangan dan pelanggaran hak asasi manusia;

Revisi Undang-Undang TNI secara signifikan memperluas peran TNI di sektor sipil dengan membuka peluang bagi prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan di berbagai kementerian dan lembaga negara tanpa harus pensiun atau mengundurkan diri. Sebelumnya, TNI aktif hanya bisa menempati jabatan sipil di 10 kementerian/lembaga tertentu, namun revisi ini menambah jumlah tersebut menjadi 16 institusi, termasuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kejaksaan Agung, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Perubahan ini memungkinkan TNI lebih terlibat dalam urusan sipil, seperti penanganan narkoba, keamanan siber, dan penegakan hukum, yang sebelumnya menjadi domain kepolisian atau lembaga sipil lainnya. Selain itu, revisi juga memperpanjang usia dinas prajurit TNI aktif, sehingga mereka dapat berkontribusi lebih lama dalam jabatan sipil maupun militer.

Namun, perluasan peran ini memicu kekhawatiran serius dari berbagai kalangan karena berpotensi mengembalikan praktik dwifungsi ABRI era Orde Baru, yaitu dominasi militer dalam pemerintahan sipil yang selama ini telah dihapus sejak reformasi. Keterlibatan militer yang lebih besar dalam jabatan sipil dinilai dapat mengikis supremasi sipil, melemahkan prinsip demokrasi, dan membuka peluang otoritarianisme serta penyalahgunaan kekuasaan militer dalam urusan politik dan pemerintahan. Selain itu, penempatan prajurit aktif TNI di jabatan sipil juga dikhawatirkan menimbulkan persaingan dengan Aparatur Sipil Negara (ASN) dan pegawai BUMN, yang dapat memengaruhi efisiensi birokrasi dan iklim investasi. Kurangnya transparansi dan partisipasi publik dalam proses pembahasan revisi Undang-Undang ini semakin memperkuat penolakan dari masyarakat sipil dan aktivis demokrasi.

Sobat Beranjak, karena alasan-alasan tersebut, sejumlah kelompok masyarakat sipil dan mahasiswa mengajukan gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan Undang-Undang TNI hasil revisi dan menuntut pertanggungjawaban pemerintah serta DPR.

Bagikan Artikel Ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

| Artikel Terkait